Sabtu, 26 November 2011

peran pemangku kebijakan dalam mengoptimalkan sumber belajar

PERAN PEMANGKU KEBIJAKAN DALAM

MENGOPTIMALKAN SUMBER BELAJAR



TUGAS INDIVIDU

MATA KULIAH PENGEMBANGAN SUMBER BELAJAR

DOSEN

DR. SAMSUDIN, M.Pd





OLEH

ITA ERLIYANAH, S.S















PROGRAM MAGISTER TEKHNOLOGI PENDIDIKAN

UNIVERSITAS ASYAFI’IYAH JAKARTA

TAHUN 2011





PENDAHULUAN





Istilah belajar sudah terlalu akrab dengan kehidupan kita sehari-hari. Di masyarakat, kita sering menjumpai penggunaan istilah belajar seperti: belajar membaca, belajar bernyanyi, belajar berbicara, belajar matematika. Masih banyak lagi penggunaan istilah, bahkan termasuk kegiatan belajar yang sifatnya lebih umum dan tak mudah diamati, seperti: belajar hidup mandiri, belajar menghargai waktu, belajar berumah-tangga, belajar bermasyarakat, belajar mengendalikan diri, dan sejenisnya.

Kegiatan belajar, sering dikaitkan dengan kegiatan mengajar. Begitu eratnya kaitan itu, sehingga keduanya sulit dipisahkan. Dalam percapakan sehari-hari kita secara spontan sering mengucapkan istilah kegiatanbelajar-mengajar” menjadi satu kesatuan. Bahwa kedua kegiatan tersebut berkaitan erat adalah benar. Namun, benarkah bahwa agar terjadi kegiatan belajar harus selalu ada orang yang mengajar? Benar pulakah bahwa setiap kegiatan mengajar pasti selalu menghasilkan kegiatan belajar ? Jawabannya : belum tentu. Artinya, dalam setiap kegiatan belajar tidak harus selalu ada orang yang mengajar.

Kegiatan belajar bisa saja terjadi walaupun tidak ada kegiatan mengajar. Begitu pula sebaliknya, kegiatan mengajar tidak selalu dapat menghasilkan kegiatan belajar. Ketika Anda menjelaskan pelajaran di depan kelas misalnya, memang terjadi kegiatan mengajar. Tetapi, dalam kegiatan itu tak ada jaminan telah terjadi kegiatan belajar pada setiap siswa yang Anda ajar. Kegiatan mengajar dikatakan berhasil hanya apabila dapat mengakibatkan / menghasilkan kegiatan belajar pada diri siswa. Jadi, sebenarnya hakekat guru mengajar adalah usaha guru untuk membuat siswa belajar. Dengan kata lain, mengajar merupakan upaya menciptakan kondisi agar terjadi kegiatan belajar. Istilah pembelajaran lebih menggambarkan usaha guru untuk membuat belajar para siswanya. Kegiatan pembelajaran tidak akan berarti jika tidak menghasilkan kegiatan belajar pada para siswanya. Kegiatan belajar hanya bisa berhasil jika si belajar secara aktif mengalami sendiri proses belajar. Seorang guru tidak dapat “mewakili” belajar untuk siswanya. Seorang siswa belum dapat dikatakan telah belajar hanya karena ia sedang berada dalam satu ruangan dengan guru yang sedang mengajar. Ada satu syarat mutlak yang harus dipenuhi agar terjadi kegiatan belajar. Syarat itu adalah adanya interaksi antara pebelajar (learner) dengan sumber belajar. Jadi, belajar hanya terjadi jika dan hanya jika terjadi interaksi antara pebelajar dengan sumber belajar. Tanpa terpenuhi syarat itu, mustahil kegiatan belajar akan terjadi.

Pekerjaan mengajar tidak selalu harus diartikan sebagai kegiatan menyajikan materi pelajaran. Meskipun menyajikan materi pelajaran memang merupakan bagian dari kegiatan mengajar, tetapi bukanlah satu-satunya. Masih banyak cara lain yang dapat dilakukan guru untuk membuat siswa belajar. Peran yang seharusnya dilakukan guru adalah mengusahakan agar setiap siswa dapat berinteraksi secara aktif dengan berbagai sumber belajar yang ada. Guru hanya merupakan salah satu (bukan satu-satunya) sumber belajar bagi siswa. Selain guru, masih banyak lagi sumber-sumber belajar yang lain. Lalu, apa sebenarnya sumber belajar itu?

Pada hakekatnya, alam semesta ini merupakan sumber belajar bagi manusia sepanjang massa. Jika Anda sependapat dengan asumsi ini, maka pengertian sumber belajar merupakan konsep yang sangat luas meliputi segala yang ada di jagad raya ini.

Menurut Asosiasi Teknologi Komunikasi Pendidikan (AECT), sumber belajar adalah semua sumber (baik berupa data, orang atau benda) yang dapat digunakan untuk memberi fasilitas (kemudahan) belajar bagi siswa. Sumber belajar itu meliputi pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan lingkungan/latar.

Ditinjau dari asal usulnya, sumber belajar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: sumber belajar yang dirancang (learning resources by design) yaitu sumber belajar yang memang sengaja dibuat untuk tujuan pembelajaran. Contohnya adalah : buku pelajaran, modul, program audio, transparansi (OHT). Jenis sumber belajar yang kedua adalah sumber belajar yang sudah tersedia dan tinggal dimanfaatkan ( learning resources by utilization), yaitu sumber belajar yang tidak secara khusus dirancang untuk keperluan pembelajaran, namun dapat ditemukan, dipilih dan dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Contohnya: pejabat pemerintah, tenaga ahli, pemuka agama, olahragawan, kebun binatang, waduk, museum, film, sawah, terminal, surat kabar, siaran televisi, dan masih banyak lagi yang lain. Jadi, begitu banyaknya sumber belajar yang ada di seputar kita yang semua itu dapat kita manfaatkan untuk keperluan belajar. Sekali lagi, guru hanya merupakan salah satu dari sekian banyak sumber belajar yang ada. Bahkan guru hanya salah satu sumber belajar yang berupa orang, selain petugas perpustakaan, petugas laboratorium, tokoh-tokoh masyarakat, tenaga ahli/terampil, tokoh agama, dll. Oleh karena setiap anak merupakan individu yang unik (berbeda satu sama lain), maka sedapat mungkin guru memberikan perlakuan yang sesuai dengan karakteristik masing-masing siswa. Dengan begitu maka diharapkan kegiatan mengajar benar-benar membuahkan kegiatan belajar pada diri setiap siswa. Hal ini dapat dilakukan kalau guru berusaha menggunakan berbagai sumber belajar secara bervariasi dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin kepada siswa untuk berinteraksi dengan sumber-sumber belajar yang ada.

Hal yang perlu diperhatian adalah, agar bisa terjadi kegiatan belajar pada siswa, maka siswa harus secara aktif melakukan interaksi dengan berbagai sumber belajar. Perubahan perilaku sebagai hasil belajar hanya mungkin terjadi jika ada interaksi antara siswa dengan sumber-sumber belajar. Dan inilah yang seharusnya diusahakan oleh setiap pembelajar (instructor, guru) dalam kegiatan pembelajaran. Peran guru adalah menyediakan, menunjukkan, membimbing dan memotivasi siswa agar mereka dapat berinteraksi dengan berbagai sumber belajar yang ada. Bukan hanya sumber belajar yang berupa orang , melainkan juga sumber-sumber belajar yang lain. Bukan hanya sumber belajar yang sengaja dirancang khusus, melainkan juga sumber belajar yang tinggal dimanfaatkan. Semua sumber belajar itu dapat kita temukan, kita pilih dan kita manfaatkan sebagai sumber belajar bagi siswa kita.

Wujud interaksi antara siswa dengan sumber belajar dapat bermacam-macam. Cara belajar dengan mendengarkan ceramah dari guru memang merupakan salah satu wujud interaksi tersebut. Namun belajar hanya dengan mendengarkan saja, patut diragukan efektifitasnya. Belajar hanya akan efektif jika si belajar diberikan banyak kesempatan untuk melakukan sesuatu, melalui multi-metode dan multi-media. Melalui berbagai metode dan media pembelajaran, siswa akan dapat banyak berinteraksi secara aktif dengan memanfaatkan segala potensi yang dimiliki siswa. Barang kali perlu kita renungkan kembali ungkapan China :Saya mendengar saya lupa, Saya melihat saya ingat, Saya berbuat maka saya bisa.



   

  

A.               PENGERTIAN SUMBER BELAJAR

Sumber belajar (learning resources) adalah semua sumber baik berupa data, orang dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh peserta didik dalam belajar, baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah peserta didik dalam mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu.

Edgar Dale (1969) seorang ahli pendidikan mengemukakan sumber belajar adalah, ‘ segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi belajar seseorang.’ Pendapat lain dikemukakan oleh Association Educational Comunication and Tehnology AECT (1977) yaitu ‘ berbagai atau semua sumber baik berupa data, orang dan wujud tertentu yang dapat digunakan siswa dalam belajar, baik secara terpisah maupun terkombinasi sehingga mempermudah siswa dalam mencapai tujuan belajar.’

Kedua pengertian tersebut menunjukkan bahwa pada hakikatnya sumber belajar begitu luas dan kompleks, lebih dari sekedar media pembelajaran. Segala hal yang sekiranya diprediksikan akan mendukung dan dapat dimanfaatkan untuk keberhasilan pembelajaran dapat dipertimbangkan menjadi sumber belajar. Dengan pemahaman ini maka guru bukanlah satu-satunya sumber tetapi hanya salah satu saja dari sekian sumber belajar lainnya.



B.  FUNGSI SUMBER BELAJAR

Sumber belajar memiliki fungsi :

1. Meningkatkan produktivitas pembelajaran dengan jalan: (a) mempercepat laju belajar dan membantu guru untuk menggunakan waktu secara lebih baik dan (b) mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi, sehingga dapat lebih banyak membina dan mengembangkan gairah.

2. Memberikan kemungkinan pembelajaran yang sifatnya lebih individual, dengan cara: (a) mengurangi kontrol guru yang kaku dan tradisional; dan (b) memberikan kesempatan bagi siswa untuk berkembang sesuai dengan kemampuannnya.

3. Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pembelajaran dengan cara: (a) perancangan program pembelajaran yang lebih sistematis; dan (b) pengembangan bahan pengajaran yang dilandasi oleh penelitian.

4. Lebih memantapkan pembelajaran, dengan jalan: (a) meningkatkan kemampuan sumber belajar; (b) penyajian informasi dan bahan secara lebih kongkrit.

5. Memungkinkan belajar secara seketika, yaitu: (a) mengurangi kesenjangan antara pembelajaran yang bersifat verbal dan abstrak dengan realitas yang sifatnya kongkrit; (b) memberikan pengetahuan yang sifatnya langsung.

6. Memungkinkan penyajian pembelajaran yang lebih luas, dengan menyajikan informasi yang mampu menembus batas geografis.

Fungsi-fungsi di atas sekaligus menggambarkan tentang alasan dan arti penting sumber belajar untuk kepentingan proses dan pencapaian hasil pembelajaran siswa





C. JENIS SUMBER BELAJAR

Secara garis besarnya, terdapat dua jenis sumber belajar yaitu:

1. Sumber belajar yang dirancang (learning resources by design), yakni sumber belajar yang secara khusus dirancang atau dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal.

2. Sumber belajar yang dimanfaatkan(learning resources by utilization), yaitu sumber belajar yang tidak didesain khusus untuk keperluan pembelajaran dan keberadaannya dapat ditemukan, diterapkan dan dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran

Dari kedua macam sumber belajar, sumber-sumber belajar dapat berbentuk: (1) pesan: informasi, bahan ajar; cerita rakyat, dongeng, hikayat, dan sebagainya (2) orang: guru, instruktur, siswa, ahli, nara sumber, tokoh masyarakat, pimpinan lembaga, tokoh karier dan sebagainya; (3) bahan: buku, transparansi, film, slides, gambar, grafik yang dirancang untuk pembelajaran, relief, candi, arca, komik, dan sebagainya; (4) alat/ perlengkapan: perangkat keras, komputer, radio, televisi, VCD/DVD, kamera, papan tulis, generator, mesin, mobil, motor, alat listrik, obeng dan sebagainya; (5) pendekatan/ metode/ teknik: disikusi, seminar, pemecahan masalah, simulasi, permainan, sarasehan, percakapan biasa, diskusi, debat, talk shaw dan sejenisnya; dan (6) lingkungan: ruang kelas, studio, perpustakaan, aula, teman, kebun, pasar, toko, museum, kantor dan sebagainya.



D. KRITERIA MEMILIH SUMBER BELAJAR

Dalam memilih sumber belajar harus memperhatikan kriteria sebagai berikut: (1) ekonomis: tidak harus terpatok pada harga yang mahal; (2) praktis: tidak memerlukan pengelolaan yang rumit, sulit dan langka; (3) mudah: dekat dan tersedia di sekitar lingkungan kita; (4) fleksibel: dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan instruksional dan; (5) sesuai dengan tujuan: mendukung proses dan pencapaian tujuan belajar, dapat membangkitkan motivasi dan minat belajar siswa.



E. MEMANFAATKAN LINGKUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR

Lingkungan merupakan salah satu sumber belajar yang amat penting dan memiliki nilai-nilai yang sangat berharga dalam rangka proses pembelajaran siswa. Lingkungan dapat memperkaya bahan dan kegiatan belajar.

Lingkungan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar terdiri dari : (1) lingkungan sosial dan (2) lingkungan fisik (alam). Lingkungan sosial dapat digunakan untuk memperdalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan sedangkan lingkungan alam dapat digunakan untuk mempelajari tentang gejala-gejala alam dan dapat menumbuhkan kesadaran peserta didik akan cinta alam dan partispasi dalam memlihara dan melestarikan alam.

Pemanfaatan lingkungan dapat ditempuh dengan cara melakukan kegiatan dengan membawa peserta didik ke lingkungan, seperti survey, karyawisata, berkemah, praktek lapangan dan sebagainya. Bahkan belakangan ini berkembang kegiatan pembelajaran dengan apa yang disebut out-bond, yang pada dasarnya merupakan proses pembelajaran dengan menggunakan alam terbuka.

Di samping itu pemanfaatan lingkungan dapat dilakukan dengan cara membawa lingkungan ke dalam kelas, seperti : menghadirkan nara sumber untuk menyampaikan materi di dalam kelas. Agar penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar berjalan efektif, maka perlu dilakukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi serta tindak lanjutnya.





G. MENGOPTIMALKAN SUMBER BELAJAR

Banyak orang beranggapan bahwa untuk menyediakan sumber belajar menuntut adanya biaya yang tinggi dan sulit untuk mendapatkannya, yang kadang-kadang ujung-ujungnya akan membebani orang tua siswa untuk mengeluarkan dana pendidikan yang lebih besar lagi. Padahal dengan berbekal kreativitas, guru dapat membuat dan menyediakan sumber belajar yang sederhana dan murah. Misalkan, bagaimana guru dan siswa dapat memanfaatkan bahan bekas. Bahan bekas, yang banyak berserakan di sekolah dan rumah, seperti kertas, mainan, kotak pembungkus, bekas kemasan sering luput dari perhatian kita. Dengan sentuhan kreativitas, bahan-bahan bekas yang biasanya dibuang secara percuma dapat dimodifikasi dan didaur-ulang menjadi sumber belajar yang sangat berharga. Demikian pula, dalam memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar tidak perlu harus pergi jauh dengan biaya yang mahal, lingkungan yang berdekatan dengan sekolah dan rumah pun dapat dioptimalkan menjadi sumber belajar yang sangat bernilai bagi kepentingan belajar siswa. Tidak sedikit sekolah-sekolah di kita yang memiliki halaman atau pekarangan yang cukup luas, namun keberadaannya seringkali ditelantarkan dan tidak terurus. Jika saja lahan-lahan tersebut dioptimalkan tidak mustahil akan menjadi sumber belajar yang sangat berharga.

Belakangan ini di sekolah-sekolah tertentu mulai dikembangkan bentuk pembelajaran dengan menggunakan internet, sehingga siswa “dipaksa” untuk menyewa internet –yang memang ukuran Indonesia pada umumnya-, masih dianggap relatif mahal. Kenapa tidak disediakan dan dikelola saja oleh masing-masing sekolah? Mungkin dengan cara difasilitasi oleh sekolah hasilnya akan jauh lebih efektif dan efisien, dibandingkan harus melalui rental ke WarNet. Bukankah sekarang ini sudah tersedia paket-paket hemat untuk berinternet yang disediakan para provider?

Perkembangan Keajaiban dalam Dunia pendidikan Eric Ashby (1997), seorang pemerhati pendidikan menjelaskan tahap-tahap perkembangan sumber belajar. Dia membaginya dalam empat tahap sebagai berikut :



Pertama, sumber belajar pra-guru.


Tahap ini, sumber belajar utama adalah orang dalam lingkungan keluarga atau kelompok, sumber lainnya masih sangat langka. Adapun benda yang digunakan berbentuk dedaunan, atau kulit pohon dengan bahan simbol dan isyarat verbal sebagai isi pesannya. Pengetahuan diperoleh lebih banyak dengan cara coba-coba (trial) dan error sehingga hasilnya pun masih sederhana dan mutlak di bawah kontrol orang tua atau anggota keluaga. Ciri khas dari tahap ini sifatnya tertutup dan rahasia.



Kedua, lahirnya guru sebagai sumber belajar utama.


Pada tahap inilah cikal bakal adanya sekolah. Perubahan terjadi pada cara pengelolaan, isi ajaran, peran orang, teknik dan lainnya. Jumlahnya masih terbatas dan dominannya peran guru. Begitu pula mutu pengajaran tergantung kualitas guru. Adapun kelebihannya guru dihormati dan kedudukannya tinggi sehingga menentukan keberhasilan pembelajaran. Kelemahannya bahwa jumlah siswa yang dapat dididik masih terbatas dan tugas guru sangat berat.



Ketiga, sumber belajar bentuk cetak.


Tugas guru relatif lebih ringan karena adanya sumber belajar cetak. Siswa dapat mempelajari sendiri ketika belum paham. Kelemahannya terkadang penulisan buku belum baik dan isinya sulit dipahami oleh sebagian siswa. Kelebihannya, materi dapat disebarluaskan secara cepat dan luas. Sumber belajar cetak ini meliputi buku, majalah modul, makalah dan lainnya.


Keempat, sumber belajar produk teknologi komunikasi.



Sumber ini dikenal dengan istilah audio visual aids yaitu sumber belajar dari bahan audio (suara), visual (gambar), atau kombinasi dari keduanya dalam sebuah proses pembelajaran. Istilah lain disebut juga media pendidikan yang biasanya didesain secara lebih terarah, spesifik dan sesuai dengan perkembangan siswa. Contoh sumber belajar dalam tahap ini yakni berupa televisi, CD, radio dan OHP. Secara lengkap alur perkembangan sumber belajar tersebut digambarkan sebagai berikut :

Sumber Belajar
Pra Guru, Guru, Media Cetak, Teknologi Komunikasi Informasi

Kondisi sekolah saat ini, nampaknya masih beragam, antara perkembangan tahap kedua, ketiga dan keempat. Pada sekolah yang berada di pedalaman keberadaan guru masih dominan mengingat masih terbatasnya sumber belajar lain. Sedangkan sekolah di perkotaan sudah memanfaatkan sumber belajar media cetak terutama buku. Dan sekolah lainnya secara maksimal telah memanfaatkan produk teknologi komunikasi walaupun kuantitasnya masih terbatas.

Mengingat begitu luasnya sumber belajar, maka perencanaan yang matang mesti dilakukan. Beberapa sumber belajar yang dapat dipertimbangkan untuk dimanfaatkan adalah :

I. PERPUSTAKAAN


Selama ini, perpustakan di sekolah hanya sebagai pelengkap. Padahal, keberadaannya sangat penting sebagai salah satu sumber belajar. Perpustakan dapat digunakan sebagai sarana peningkatan wawasan dan pengetahuan, meningkatkan minat dan kebiasaan membaca siswa, sarana pencarian pengetahuan/informasi dan perpustakan pun dapat digunakan sebagai tempat diskusi, ajang bertukar pikiran antara kelompok belajar.Oleh karena itu sebuah perpustakaan haus memenuhi persyaratan minimal yang meliputi, pertama, perpustakan dikelola secara baik. Kedua, tersedianya literatur (sumber bacaan) baik berupa buku pelajaran, berbagai bacaan, majalah, kamus ensiklopedi dsb. Ketiga, memiliki ruang atau tempat yang memadai dan nyaman sehingga siswa betah berlama-lama di perpustakaan. Keempat, kemudahan siswa untuk memanfaatkan segala fasilitas yang ada di perpustakaan untuk menunjang proses pembelajaran.

Beberapa sekolah menunjukkan perpustakaannya masih begitu memprihatinkan, selain terbatasnya literatur juga tempat yang dipakai nampaknya tidak layak untuk dikatakan sebagai sebuah perpustakaan (sempit, disekat meja dan tidak tertata).
Mengenai terbatasnya perpustakaan baik dari segi literatur, tempat dan pengelolaan nampaknya telah menjadi fenomena umum. Akan tetapi selama insan pendidik masih memiliki komitmen dan keinginan untuk memperbaiki dan memikirkan masalah ini, insya Allah lambat laun akan terwujud perpustakaan sekolah yang walaupun sederhana tetapi menarik bagi siswa.







II.MEDIA BELAJAR/ALAT PERAGA


Media belajar yang dimaksud adalah berbagai alat, bahan yang bisa digunakan untuk membantu dalam penyamapaian materi pembelajaran. Media tersebut baik dibuat sendiri maupun kaya orang lain.

Berbagai media yang ada perlu digunakan secara optimal dan tentu saja harus dipelihara dan dijaga kelaikannya. Media yang telah rusak segera diperbaiki bahkan diganti. Media yang belum ada dan sekiranya berguna perlu dipikirkan untuk dimiliki, dengan cara membeli atau mengajukan bantuan.

Media yang perlu dipertimbangkan untuk dimiliki terutama media elektronik (produk teknologi komunikasi). Biasanya dengan menggunakan media seperti ini pembelajaran akan lebih hidup dan siswa pun lebih antusias mengikutinya. Berbagai media seperti slide film, proyektor, VCD dapat digunakan sewaktu waktu sebagai sumber belajar. Misalnya, ketika membahas materi koperasi (IPS), siswa diajak nonton slide/film yang didalamnya menjelaskan berbagai informasi termasuk praktek dan contoh kegiatan berkoperasi. Guru hanya membantu dan memfasilitasi, setelah selesai kemudian dibahas dan didiskusikan bersama-sama.
Akan tetapi, ketika media elektronik belum ada, maka lebih baik memanfatkan media dengan cara membuat sendiri walaupun sederhana. Yang terpenting media tersebut akan membantu siswa dalam memahami materi pelajaran. Sungguh disayangkan apabila guru hanya berceramah saja selain menjenuhkan, guru pun akan merasa kelelahan.



III. MAJALAH DINDING


Sumber belajar ini layak dipertimbangkan terutama bagi pembelajaran Bahasa Indonesia/Inggris. Mading dapat menjadi sarana penyebar informasi atau pengetahuan dari hasil karya siswa baik berupa karangan, puisi, cerpen dll. Di samping iu mading bisa menjadi motivasi bagi siswa untuk senang membaca, terdorong berkarya sekaligus bisa saling belajar atau menilai antar karya satu dengan yang lainnya.

Dalam pengelolaannya perlu bimbingan dan pembinaan dari guru terutama guru bahasa. Sedangkan dalam pelaksanaannya bisa dibentuk sebuah pengurus mading di tiap kelas atau tingkat sekolah. Mereka bertanggung jawab untuk mengelola mading secara baik dan berkesinambungan.


Di samping memanfaatkan sumber belajar yang ada, guru dituntut untuk mencari dan merencanakan sumber belajar lainnya baik hasil rancangan sendiri ataupun sumber yang sudah tergelar di sekililing sekolah dan masyarakat.



Sumber belajar yang dapat dimanfaatkan dan berada di masyarakat misalnya:
1.Mengunjungi museum sesuai dengan materi (museum uang, museum sejarah atau museum hewan)
2.Study tour mengunjungi gedung geologi, lembaga pemasyarakatan atau lembaga pemerintahan
3.Mengunjungi tempat ibadah, pasar, mal (tempat belanja).
4. Mendatangkan tokoh untuk diskusi (polisi dan dokter membahas narkoba, anggota DPR
membahas pemerintahan daerah dll)

Dan berbagai alternatif sumber belajar lain yang tentu masih banyak. Keberadaan guru dalam perencanaan dan pengorganisasian pembelajaran menjadi cukup penting dan akan menentukan terhadap kualitas pembelajaran. Artinya sejauhmana kemauan dan usaha guru yang bersangkutan.

KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menetapkan Visi pendidikan nasional dalam mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Untuk mewujudkan visi tersebut, misi Departemen Pendidikan Nasional adalah: (1) mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia; (2) meningkatkan mutu pendidikan yang memiliki daya saing di tingkat nasional, regional, dan internasional; (3) meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan tantangan global; (4) membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; (5) meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral; (6) meningkatkan profesionalas dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar yang bersifat nasional dan global; dan (7) mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sejalan dengan Visi dan Misi Depdiknas tersebut di atas, maka sebagai acuan dasar dalam rangka pengembangan Rencana Strategis Pengembangan dan Pembinaan Pendidikan Dasar dan Menengah 2005–2009, Ditjen. Manajemen Dikdasmen merumuskan Visi dan Misi sebagai berikut:



Visi Ditjen. Manajemen Dikdasmen adalah: ”Mewujudkan pendidikan bermutu untuk kehidupan yang cerdas atas dasar kepribadian dan akhlak mulia bagi seluruh anak bangsa”. Dari visi dimaksud, kemudian disusun misi Ditjen Manajemen Dikdasmen yang meliputi:

1.      meningkatkan akses masyarakat untuk pendidikan dasar dan menengah,

2.      membantu/membimbing satuan pendidikan di jenjang pendidikan dasar dan menengah untuk memberikan pelayanan pendidikan bermutu,

3.      menjalin kerjasama yang efektif dan produktif dengan pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengembangan dan pembinaan pendidikan dasar dan menengah yang bermutu,

4.      membantu pemerintah daerah menyediakan sarana dan prasarana belajar pendidikan bermutu,

5.      melakukan inovasi dalam mengembangkan sistem penyelenggaraan pendidikan bermutu dan akuntabel,

6.      merintis pengembangan lingkungan sekolah sebagai pusat pengembangan budaya (a centre for cultural development),

7.      mengembangkan sistem pelayanan khusus untuk peserta yang berada dalam konteks sosial, budaya, ekonomi, dan kondisi geografis khusus.

Sebagaimana yang tercantum dalam UU RI No. 20 Th. 2003 Bab XIV Ps. 50 ayat (5) dinyatakan bahwa, Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Hal ini didukung pula oleh prinsip penyelenggaraan pendidikan seperti yang tercantum pada UU RI No. 20 Th. 2003 Bab III Ps. 4 ayat (1), yang menyatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Kemudian pada Bab X Ps. 36 ayat (2) yang dinyatakan Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik, dan pada ayat (3) menyatakan Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Indonesia dengan memperhatikan: a) peningkatan iman dan takwa; b) peningkatan ahlak mulia; c) penigkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d) keragaman potensi daerah dan lingkungan; e) tuntutan pembangunan daerah dan nasional; f) tuntutan dunia kerja; g) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h) agama; i) dinamika perkembangan global; dan j) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Kebijakan Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal juga ditekankan pada PP RI No. 19 Tahun 2005 Ps. 14 ayat (1), (2), dan (3).

Berdasarkan kebijakan pemerintah tentang sistem pendidikan nasional tersebut sebenarnya mengarah kepada optimalisasi sumber belajar yang dituntut oleh dunia pendidikan namun optimalisasi tersebut masih kurang dirasakan karena banyaknya ketidakpahaman pendidik untuk memanfaatkannya, para pendidik atau guru cenderung menggunakan gaya lama yang telah turun temurun digunakan dan juga sosialisasi pemerintah yang dirasa sangat kurang serta terlalu seringnya berganti kebijakan yang biasa diistilahkan ganti mentri ganti pula kebijakan, seharusnya kebijakan tersebut tidak perlu diganti akan tetapi dipertahankan dan disempurnakan. Sehingga optimalisasi sumber belajar dapat dirasakan oleh semua pihak.

Dikarenakan kekurang optimalan tersebut mengakibatkan berbagai keterpurukan, antara lain

1.      Berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001 saja menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (www.kompas.com).

  1. Laporan United Nations Development Program (UNDP) tahun 2004 dan 2005, menyatakan bahwa Indeks pembangunan manusia di Indonesia ternyata tetap buruk. Tahun 2004 Indonesia menempati urutan ke-111 dari 175 negara. Tahun 2005 IPM Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 177 negara. Posisi tersebut tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Berdasarkan IPM 2004, Indonesia menempati posisi di bawah negara-negara miskin seperti Kirgistan (110), Equatorial Guinea (109) dan Algeria (108). Bahkan jika dibandingkan dengan IPM negara-negara di ASEAN seperti Singapura (25), Brunei Darussalam (33) Malaysia ( 58), Thailand (76), sedangkan Filipina (83). Indonesia hanya satu tingkat di atas Vietnam (112) dan lebih baik dari Kamboja (130), Myanmar (132) dan Laos (135) (www.suara pembaruan.com/16 juli 2004 dan Pan Mohamad Faiz. 2006).
  2. Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah pengguna narkoba di lingkungan pelajar SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662 anak. Rinciannya, untuk tingkat SD sebanyak 1.793 anak, SMP sebanyak 3.543 anak, dan SMA sebanyak 10.326 anak. Dari data tersebut, yang paling mencengangkan adalah peningkatan jumlah pelajar SD pengguna narkoba. Pada tahun 2003, jumlahnya baru mencapai 949 anak, namun tiga tahun kemudian atau tahun 2006, jumlah itu meningkat tajam menjadi 1.793 anak (www.pikiran-rakyat.com). Selain itu, kalangan pelajar juga rentan tertular penyebaran penyakit HIV/AIDS. Misalnya di kota Madiun-Jatim, dari data terakhir yang dilansir Yayasan Bambu Nusantara Cabang Madiun, organisasi yang konsen masalah HIV/AIDS, menyebutkan kasus Infeksi Seksual Menular (IMS) yang beresiko tertular HIV/AIDS menurut kategori pendidikan sampai akhir Oktober 2007 didominasi pelajar SMA/SMK sebanyak 51 %, pelajar SMP sebesar 26%, mahasiswa sebesar 12% dan SD/MI sebesar 11% (news.okezone.com). Dalam hal tawuran, di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tingkat tawuran antar pelajar sudah mencapai ambang yang cukup memprihatinkan. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat, dalam satu hari di Jakarta terdapat sampai tiga kasus perkelahian di tiga tempat sekaligus (www.smu-net.com).
  3. Pencapaian APK (Angka Partisipasi Kasar) dan APM (Angka Partisipasi Murni) sebagai indikator keberhasilan program pemerataan pendidikan oleh pemerintah, hingga tahun 2003 secara nasional ketercapaiannya ternyata masih rendah, hal ini didasarkan pada indikator: (1) anak putus sekolah tidak dapat mengikuti pendidikan (usia 7-15) sekira 693.700 orang atau 1,7%, (2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari total penduduk usia 7-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Depdiknas, 2003). Rasio partisipasi pendidikan rata-rata hanya mencapai 68,4 persen. Bahkan, masih ada sekitar 9,6 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf. (www.republikaonline.com) sampai sekarang masih terdapat 9 provinsi dengan jumlah buta aksara terbesar usia 10 tahun ke atas dan 15-44 tahun, yakni: Jawa Timur (1.086.921 orang), Jawa Tengah (640.428), Jawa Barat (383.288), Sulawesi Selatan (291.230), Papua (264.895), Nusa Tenggara Barat (254.457), Nusa Tenggara Timur (117.839), Kalimantan Barat (117.338), dan Banten (114.763 orang). (www.pikiran-rakyat.com).
  4. Data dari Balitbang Depdiknas 2003 yang menyebutkan bahwa porsi biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar antara 63,35%-87,75% dari biaya pendidikan total. Sedangkan menurut riset Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2006 di 10 Kabupaten/Kota se-Indonesia ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung beban biaya pendidikan Rp 1,5 Juta, yang terdiri atas biaya langsung dan tak langsung. Selain itu, beban biaya pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat (selain orang tua/ siswa) hanya berkisar antara 12,22%-36,65% dari biaya pendidikan total (Koran Tempo, 07/03/2007). Menurut laporan dari bank dunia tahun 2004, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana penyelenggaraan pendidikan nasionalnya padahal pada saat yang sama pemerintah India telah dapat menanggung pembiayaan pendidikan 89%. Bahkan jika dibandingkan dengan negara yang lebih terbelakang seperti Srilanka, persentase anggaran yang disediakan oleh pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah. (www.worldbank.com).
  5. Perumusan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang sudah berlangsung sejak 2004 dinilai oleh pengamat ekonomi Tim Indonesia Bangkit (TIB), Revrisond Bashwir sebagai agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi sektor pendidikan. Semua satuan pendidikan (sekolah) kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
  6. Kebijakan UN yang banyak ditentang oleh masyarakat karena dinilai diskriminatif dan hanya menghamburkan anggaran pendidikan, antara lain ditentang oleh Koalisi Pendidikan yang terdiri dari Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP), National Education Watch (NEW), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), The Center for the Betterment Indonesia (CBE), Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI), Forum Aksi Guru Bandung (FAGI-Bandung), For-Kom Guru Kota Tanggerang (FKGKT), Lembaga Bantuan Hukum (LBH-Jakarta), Jakarta Teachers and Education Club (JTEC), dan Indonesia Corruption Watch (ICW), berdasarkan kajian terhadap UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional, Koalisi Pendidikan menemukan beberapa kesenjangan (www.tokohindonesia.com).
  7. Rendahnya tingkat kesejahteraan guru yang berpengaruh terahadap rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
  8. Realisasi anggaran pendidikan yang masih sedikit. Ketentuan anggaran pendidikan dalam UU No.20/2003 pasal dinyatakan bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (ayat 1). Realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD ternyata masih sangat sulit untuk dilakukan pemerintah, bahkan skenario yang diterapkan pun masih mengalokasikan dana pendidikan dari APBN/APBD dalam jumlah yang terbatas yaitu Total Belanja Pemerintah Pusat menurut APBN 2006 adalah sebesar Rp 427,6 triliun. Dari jumlah tersebut, jumlah yang dianggarkan untuk pendidikan adalah sebesar Rp36,7 triliun. Sedangkan asumsi kebutuhan budget anggaran pendidikan adalah 20% dari Rp. 427,6 triliun atau sebesar Rp. 85,5 triliun, maka masih terdapat defisit atau kekurangan kebutuhan dana pendidikan sebesar Rp 47,9 triliun. Skenario progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen per tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005), 12,01 % (2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009). Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006 (Pan Mohamad Faiz;2006).Tahun 2007 hanya mencapai 11,8 persen. Nilai ini setara dengan Rp 90,10 triliun dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun.(www.tempointeraktif.com).
  9. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. Pada tahun 2009 diperkirakan ada 116,5 juta orang yang akan mencari kerja (www.kompas.com).

Data di atas merupakan beberapa indikator yang menunjukan betapa sistem pendidikan nasional kita saat ini tengah didera oleh berbagai problematika, yang pada akhirnya penyelenggaraan pendidikan tidak dapat memberikan penyelesaian terhadap permasalahan pembentukan karakter insan yang berakhlak mulia, pembentukan keterampilan hidup, penguasaan IPTEK untuk peningkatan kualitas dan taraf hidup masyarakat, serta memecahkan berbagai problematika kehidupan lainnya. Padahal diantara tujuan semula pendidikan adalah untuk itu semua.

Pengembangan sumber belajar sangat diperlukan guru untuk menambah wawasan dan pengetahuan guru dalam mengelola proses belajar-mengajar agar lebih bermakna. Cara mengembangkan sumber belajar perlu mengacu pada materi pelajaran yang hendak dikembangkan.

Ada beberapa cara yang harus dilakukan oleh guru dalam mengembangkan sumber belajar yaitu:

1. Mempelajari Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP).

2. Identifikasikan kemampuan-kemampuan yang hendak dikembangkan dalam menunjang pencapaian Tujuan Pembelajaran Umum (TPU).

3. Menentukan kedalaman dan keluasan pokok bahasan/sub pokok bahasan yang akan dijabarkan dalam mencapai Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK).

4. Menentukan strategi belajar-mengajar yang paling efektif untuk mencapai Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK).

5. Menentukan perlu tidaknya sumber belajar dalam kegiatan belajar-mengajar.

6. Memeriksa apakah sumber belajar yang diperlukan tersedia di sekolah atau di lingkungan.

7. Jika sumber belajar yang diperlukan tidak tersedia, usahakanlah pengadaannya. Jika tersedia periksa apakah masih berfungsi, jika tidak berfungsi usahakan pengembangannya agar berfungsi lagi.

8. Laksanakan kegiatan belajar-mengajar dengan menggunakan sumber belajar secara tepat, sehingga mengoptimalkan pencapaian tujuan.

Kriteria Penggunaan Sumber Belajar

Beberapa kriteria penggunaan sumber belajar, menurut Dick and Carey (1985:15-25) antara lain sebagai berikut:

1. Analisis karakteristik peserta didik, dalam pengertian sumber belajar yang digunakan harus sesuai dengan karakteristik peserta didik.dan isi materi pengajaran serta penyajiannya.

2. Sesuai dengan tujuan pembelajaran, artinya penggunaan sumber belajar perlu mengacu pada tujuan pembelajaran yang dirumuskan, baik Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) maupun Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK).

3. Sesuai dengan materi pelajaran, artinya sumber belajar yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan materi pelajaran.

4. Kemanfaatan sumber belajar bagi peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran, dan dalam penggunaan hendaknya disesuaikan dengan kemampuan guru.

5. Sumber belajar harus menimbulkan tanggapan bagi peserta didik. Oleh karena itu guru perlu memberi semangat kepada peserta didik untuk memberikan tanggapan terhadap materi pelajaran melalui sumber belajar yang diterima.
Dalam hal pemanfaatan dan pendayagunaan sumber belajar peran pemerintah diharapkan untuk lebih memaksimalkan potensi baik potensi sumber daya manusianya untuk lebih kreatif memanfaatkan segala sumber untuk dijadikan sumber belajar  juga pemanfaatan sumber daya alam agar lebih dimaksimalkan untuk dijadikan sumber belajar disamping sumber-sumber belajar yang lainnya sehingga segala sesuatu yang ada disekitar peserta didik dapat dijadikan sumber belajar dari hal yang terlihat sepele sampai hal yang besar.